Usaha untuk mendirikan suatu wadah yang khusus menghimpun mahasiswa nahdliyin sebenarnya sudah lama ada, hal ini dapat dilihat dengan adanya kegiatan sekelompok mahasiswa NU yang di Jakarta. selain itu juga muncul komunitas-komunitas NU yang bertempat di berbagai daerah. seperti di Surakarta, Bandung dan beberapa daerah lainnya.Patut dicatat disini:
  1. Pertama: Misalnya berdirinya  IMANU (ikatan mahasiswa NU)Pada bulan Desember 1955 di Jakarta. Namun kehadirannya belum bisa diterima oleh banyak pihak, terutama oleh kalangan sespuh NU sendiri. Sebab disamping kelahiran IPNU itu sendiri masih baru (didirikan pada tanggal 24 Februari 1954) yang notabene mayoritas pengurusnya mahasiswa, sehingga dikhawatirkan justru akan melumpuhkan IPNU.
  2. Kedua: Sekelompok mahasiswa nahdliyin yang berdomisili di Kota Surakarta Jawa Tengah yang diprakarsai oleh H. Mustahal Ahmad, juga sempat mendirikan suatu organisasi yang diberi nama “Keluarga Mahasiswa NU” (KMNU) Surakarta, juga pada tahun 1955. Bahkan KMNU ini merupakan organisasi mahasiswa yang NU yang mampu bertahan sampai lahirnya PMII pada tahun 1960 [1]).
  3. Ketiga:  Di Bandung  ada  usaha  serupa  dengan nama  PMNU
                 (Persatuan Mahasiswa NU) dan masih banyak lagi di kota-kota lain dimana ada perguruan tinggi yangmempunyai gejala yang sama, tetapi ternyata pimpinan IPNU tetap membendung usaha-usaha tersebut dengan suatu pemikiran bahwa pimpinan pusat IPNU akan lebih mengintensifkan pada usaha-usaha mengadakan penelitian pada dua permasalahan pokok :
  1. Seberapa besar potensi mahasiswa NU
  2. Sampai seberapa jauh kemampuan untuk berdiri sebagai organisasi mahasiswa).
        Upaya yang dilakukan oleh IPNU dengan membentuk departemen perguruan tinggi untuk menampung aspirasi mahasiswa nahdliyin, tidak banyak berarti bagi kemajuan dan perkembangan mahasiswa nahdliyin, hal tersebut disebabkan beberapa hal :
  1. Kondisi obyektif menunjukkan bahwa keinginan para pelajar sangat berbeda denga keinginan, dinamika dan perilaku mahasiawa.
  2. Kenyataan gerak dari departemen perguruan tinggi IPNU itu sangat terbatas sekali. Terbukti untuk duduk sebagai anggota PPMI persatuan perhimpunan mahasiswa indonesia), suatu konfederasi organisasi mahasiswa ekstra universitas tidak mungkin bisa, sebab PPMI merupakan organisasi yang hanya menampung ormas-ormas mahasiswa. Apalagi dalam MMI (majlis mahasiswa indonesia), suatu federasi dari dewan/senat mahasiswa, juga tak mungkin dilakukan)
         Kesimpulan dari perdebatan mengenai hasil pengamatan ketua IPNU waktu itu ternyata tidak berbeda jauh. Para anggota pimpinan pusat IPNU lebih condong untuk merintis pembentukan wadah khusus bagi mahasiswa nahdliyin. Pertimbangan yang menyertai kwsimpulan ini juga lebih kompleks. Sebab di penghujung dasa warsa 1950 itu situasi politik dan keamanan di tanah sir kita sedang bergolak.
          Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan dalam rapat piminan pusat IPNU itu :
  1.  Pertama: Wadah departemen perguruan tinggi IPNU dianggap tidak lagi memadai, tidak cukup kuat untuk mewadahi gerakan kemahasiswaan.
  2. Kedua   : Perkembangan poltik dan keamanan di dalam negeri menuntut pengamatan yang ekstra hati-hati, khususnya bagi para mahasiswa Islam.
  3. Ketiga  : Satu-satunya wadah kemahasiswaan Islam yang ada pada waktu itu ialah HMI (himpunan mahasiswa Islam), yang tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat dengan partai Masyumi, sedangkan tokoh masyumi telah melibatkan diri dalam pemberontakan PRRI.
          Sementara itu, dikalangan intern NU sendiri, waktu itu masih belum terungkap suatu rasa percaya diri. Maksudnya para tokoh pimpinan NU masih seolah-olah dalam lingkungan jam’iyah nahdliyin tidak ada anggota yang berkualitas  intelektual. Sehingga untuk mengisi jabatan menteri dan anggota DPR saja, pimpinan NU terpaksa meng-NU-kan sarjana-sarjana dari luar lingkungan nahdliyin. Padahal NU waktu itu adalah sebuah partai besar, pemenang nomor tiga dalam pemili 1955. Kewibawaan partai NU tidak selayaknya dihambur-hamburkan untuk memberi hadiah jabatan dan kedudukan kepada orang diluar jema’ah.
            Inilah cry yang selalu diteriakkan para mahasiswa nahdliyin pada waktu itu. Dan merekapun merasa perlu segera melakukan langkah-langkah tertentu untuk meyakinkan semua pihak yang berkepentingan, bahwa dalam lingkungan nahdliyin sudah muncul banyak generasi muda yang berpendidikan perguruan tinggi. [2])
            Menyadari keterbatasan dan berkat dorongan-dorongan berbagai kenyataan obyektif serta adanya usaha mengambil langkah-langkah pertimbangan, antara lain :
  1. Didirikannya perguruan tinggi NU di berbagai tempat, misalnya PTINU di Surakarta (sekarang Universitas NU), Fakultas Ekonomi dan Tata Niaga serta fakultas Hukum dan Tata Praja di Bandung (sekarang Universitas Islam Nusantara – Uninus) dan Akademi ilmu pendidikan dan Agama Islam di Malang (sekarang Universitas Islam Malang – Unisma).
  2. Adanya keinginan dari individu-individu mahasiswa  nahdliyin yang menuntut ilmu di perguruan tinggi NU maupun pergutuan tingg negeri dan lainnya untuk segera mengkonkritkan suatu wadah khusus bagi mahasiswa nahdliyin.
  3. Adanya signal dari pucuk pimpinan LP. Ma’arif NU sendiri untuk lebih mengkonkritkan bentuk organisasi mahasiswa nahdliyin.
  4. Adanya kenyataan praktis maupun psikologis yang sangat bertolak belakang diantara pelajar dan mahasiswa khususnya yang tergabung dalam IPNU, baik dari segi belajar, dinamika maupun strategi perjuangannya, semakin mendorong terbentunya suatu wadah tersendiri. )
          Semangat untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang khusus dilingkungan mahasiswa nahdliyin nampak semakin menguat. Puncaknya ketika IPNU mengadakan konprensi besar pada tanggal 14 – 17 Maret 1960, setelah sahabat Isma’il Makky (selaku ketua departemen perguruan tinggi IPNU) dan sahabat Moh. Hartono BA (mantan wakil pimpinan Usaha Harian Pelita Jakarta) berbicara di depan peserta komprensi besar IPNU tersebut di Kaliurang Yogjakarta. Dari sinilah akhirnya lahir suatu keputusan “perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa secara khusus bagi mahasiswa nahdliyin ) yang lepas baik secara struktural organisatoris maupun adminstratif.
          Untuk mempersiapkan musyawarah pembentukan suatu wadah/organisasi mahasiswa tersebut dibentuklah 13 orang panitia sebagai sponsor pendiri organisasi mahasiswa nahdliyin dengan limit waktu kerja satu bulan, yang diirencanakan dilaksanaka di Surabaya .


[1] Wawancara dengan sahabat Drs. H. Mustahal Ahmad pada tanggal 25 Agustus   1984 di rumah beliu Jl. Imam Bonjol 53 Surakarta Jawa Tengah.
[2]  HA. Cholid Mawardi, PMII dan Cita-cita NU, Dalam Pemikiran PMII, Dalam berbagai visi dan Persepsi, Oleh A. Effendy Choirie dan Choirul Anam, Aula, Surabaya 1991, Halamanan 72-74.

Sumber:  Fauzan Alfas

Leave a Reply